Light House Denver – Buang air besar (BAB) adalah proses alami tubuh untuk mengeluarkan tinja atau kotoran hasil pencernaan. Sering Buang Air Besar yang terjadi setiap hari atau dalam seminggu bisa menjadi petunjuk penting tentang kesehatan tubuh. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Institute for Systems Biology (ISB) dan dipublikasikan dalam jurnal Cell Reports Medicine. Menunjukkan bahwa frekuensi BAB yang tidak normal dapat berhubungan dengan risiko penyakit kronis dan kesehatan mikrobioma usus.
Studi ini mengungkap adanya frekuensi BAB yang optimal, yang disebut sebagai ‘zona Goldilocks’. Zona ini mengacu pada jumlah BAB yang dikaitkan dengan kesehatan usus yang lebih baik. Penelitian ini melibatkan lebih dari 1.400 orang dewasa sehat yang berusia antara 19 hingga 89 tahun. Dengan mayoritas peserta adalah wanita dan orang kulit putih dari wilayah Pacific Northwest, AS. Mereka yang berpartisipasi tidak memiliki kondisi medis tertentu atau sedang mengonsumsi obat-obatan. Data yang dikumpulkan termasuk informasi tentang gaya hidup, sampel tinja, dan darah para peserta.
Frekuensi BAB para peserta dikelompokkan dalam empat kategori. Pertama, sembelit, yaitu ketika seseorang BAB hanya satu atau dua kali dalam seminggu. Kedua, kategori rendah-normal, yaitu mereka yang BAB antara tiga hingga enam kali dalam seminggu. Ketiga, tinggi-normal, yang merujuk pada orang yang BAB antara satu hingga tiga kali sehari. Terakhir, kategori diare, yaitu mereka yang buang air besar empat kali atau lebih dalam sehari. Tim peneliti kemudian menganalisis hubungan antara frekuensi BAB dan berbagai faktor lainny. Seperti gaya hidup, faktor demografis, genetika, kesehatan mikrobioma usus, serta metabolit darah dan kimia plasma.
Baca Juga : Cara Efektif Mengurangi Risiko Kanker Hati
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang lebih muda, wanita, serta mereka yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih rendah cenderung mengalami frekuensi BAB yang lebih jarang. Meskipun demikian, para peneliti juga menemukan adanya variasi frekuensi BAB pada individu yang sehat, yang tidak bergantung pada faktor usia, jenis kelamin, atau IMT. Ini mengindikasikan bahwa frekuensi BAB yang sehat bersifat individu dan bisa berbeda-beda pada setiap orang.
Para ahli menekankan bahwa memiliki frekuensi BAB yang terlalu sedikit atau terlalu sering bisa menjadi tanda masalah kesehatan, terutama yang berkaitan dengan usus. Misalnya, sembelit yang kronis dapat menyebabkan penumpukan racun dalam tubuh dan meningkatkan risiko gangguan pencernaan. Di sisi lain, diare yang berlebihan juga dapat merusak keseimbangan mikrobioma usus dan menyebabkan masalah kesehatan lainnya.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pola makan yang sehat dan gaya hidup yang aktif berperan penting dalam menjaga frekuensi BAB yang normal. Mengonsumsi makanan tinggi serat, seperti buah, sayuran, dan biji-bijian, dapat membantu melancarkan pencernaan dan mengurangi sembelit. Sebaliknya, makanan yang tinggi lemak jenuh atau gula dapat mengganggu keseimbangan mikrobioma usus dan menyebabkan masalah pencernaan.
Para ahli mengingatkan bahwa meskipun penelitian ini memberikan gambaran umum tentang pentingnya frekuensi BAB yang sehat, setiap individu memiliki kondisi tubuh yang unik. Oleh karena itu, tidak ada satu ukuran yang cocok untuk semua orang. Jika seseorang merasa ada perubahan signifikan dalam frekuensi BAB, misalnya sembelit atau diare yang berlangsung lama, disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter guna mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat.
Secara keseluruhan, penelitian ini memperlihatkan bahwa menjaga frekuensi BAB yang normal adalah salah satu indikator penting dari kesehatan usus dan tubuh secara keseluruhan. Dengan memahami hubungan antara frekuensi BAB dan kondisi kesehatan lainnya, kita dapat lebih waspada terhadap tanda-tanda potensi masalah kesehatan sejak dini.
Simak Juga : Meditasi di Tempat Kerja: Antara Manfaat dan Tantangan yang Tersembunyi